Monday, June 19, 2006

Sejarah Sriwijaya Versi A Grozali

Ahmad Bastari Suan, SPd Peminat Sejarah dan Budaya Nusantara
AHMAD GROZALI Mengkerin, penulis angkatan Balai Pustaka, dengan karya tulisnya yang terkenal Syair Si Pahit Lidah, mempunyai pendapat lain tentang sejarah Sriwijaya. Pendapatnya itu tertuang dalam satu manuskrip yang disimpan oleh keluarga orang yang disapanya dengan sapaan “paman” di Palembang. Dokumentasi pribadi paman Abdullah Senibar itu patut dijadikan bahan kajian tentang sejarah Sriwijaya atau sejarah lokal Sumsel. Judul manuskrip yang ditulis oleh penulis Balai Pustaka itu adalah “Ringkasan Sedjarah Seriwidjaja Pasemah”.Ahmad Grozali, penulis Syair Si Pahit Lidah, yang sebagai jurnalis pernah menulis artikel “Gara-gara Berdialog” itu, mengemukakan pendapatnya tentang Sriwijaya sebagai berikut.Pada tahun 101 Syaka (bertepatan dengan tahun 179 Masehi), berlabuhlah tujuh bahtera (jung) di Pulau Seguntang. Pulau Seguntang iu adalah Bukit Seguntang yang sekarang, yaitu bukit dengan ketinggian 27 meter di atas permukaan laut, di dalam Kota Palembang.Pada masa itu, yaitu sekitar abad kedua Masehi, daerah Sumatera Selatan ini masih merupakan bencah lebar atau rawa-rawa yang sangat luas. Hanya ada beberapa daratan yang tampak seperti terapung di atas permukaan laut. Di antara daratan yang muncul di atas permukaan laut itu adalah (1) Bukit Seguntang, sebagai apung pertama; (2) Kute Abung Bukit Serela, sebagai apung tengah; dan (3) Daratan Tinggi Tanah Besemah dengan puncaknya Gunung Dempu, sebagai apung kulon (apung barat).Kute Abung Bukit Serela adalah Bukit Serela di Kabupaten Lahat, yang sekarang dikenal juga dengan nama Bukit Jempol. Di situ pernah ditemukan jangkar jung kuno yang berasal dari awal abad Masehi. Daerah itu dikenal juga dengan sebutan Abung Tinggi. Bukit Serela atau Bukit Jempol itu tingginya 670 meter di atas permukaan laut.Dataran Tinggi Tanah Besemah dengan puncaknya Gunung Dempu itu adalah wilayah Kota Pagaralam dan Kabupaten Lahat dengan gunung tertinggi di Sumatera Selatan, yang kini dikenal dengan Gunung Dempo. Gunung Dempu (Dempo) itu sebenarnya mempunyai tiga puncak, yaitu (1) puncak belumut (Gunung Lumut), (2) puncak beghapi (Gunung Berapi), dan (3) puncak dempu (Gunung Dempu). Puncak yang tertinggi adalah puncak Dempu (Gunung Dempu), 3.173 meter di atas permukaan laut.Putra MahkotaAdapun Angkatan Bahtera (Armada Jung) yang berlabuh di Pulau Seguntang pada tahun 101 Syaka atau 179 Masehi itu, dipimpin oleh Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu, putra mahkota Kerajaan Rau (Rao) di India. Sebagai penasihat Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu adalah Ariya Tabing dari Kepulauan Massava (Filipina) dan Umayullah dari Parsi Persia (Iran).Perjalanan Angkatan Bahtera Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu tahun 101 Syaka (179 Masehi) itu adalah perjalanan kedua yang dilakukan oleh Angkatan Bahtera Kerajaan Rau (Rao) untuk menyelidiki pulau-pulau di Nusantara, yaitu pulau-pulau di tenggara benua Asia. Perjalanan pertama berlangsung sebelum tahun 10 Syaka atau tahun 80-an Masehi. Angkatan Bahtera Kerajaan Rau (Rao) yang berangkat ke Nusantara sebelum tahun 10 Syaka itu dipimpin oleh Seri Nuruddin yang berasal dari Kepulauan Massava (Filipina), yang pada waktu itu menjabat sebagai Ariya Passatan (Panglima Angkatan Laut) Kerajaan Rau (Rao).Angkatan Seri Nuruddin telah berpuluh-puluh tahun tidak kembali ke Kerajaan Rau (Rao) di India, bahkan tidak ada kabar sama sekali. Oleh sebab itu maka dikirim angkatan kedua, angkatan susulan, yang dipimpin langsung oleh yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu. Mereka mengharung samudera, menuju ke pulau-pulau Nusantara.Pada hari Jumat, hari ke-14, bulan Haji (bulan Zulhijjah), tahun 101 Syaka, bertepatan dengan tahun 179 Masehi, mendaratlah Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu yang memimpin Angkatan Tujuh Bahtera itu di daratan, di dekat pohon cendana, di Pulau Seguntang atau Bukit Seguntang. Di situ beliau Yang Mulia menemukan satu bumbung (berumbung) atau tabung yang berisi lempengan emas bersurat. Lempengan emas bersurat dalam bumbung yang ditemukan oleh Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu itu, ternyata adalah surat atau warkah yang ditandatangani oleh Seri Nuruddin, Ariya Passetan (Panglima Angkatan Laut) Kerajaan Rau (Rao), bertanggal hari kesebelas, bulan ketujuh (bulan Rajab), tahun 10 Syaka, bertepatan dengan tahun 88 Masehi.SuratInilah isi surat atau warkah emas yang ditulis dan ditandatangani oleh Seri Nuruddin, yang ditemukan oleh Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu di bawah pohon cendana, di Bukit Seguntang itu.“Kami tak dapat lagi pulang ke India karena segala alat perlengkapan kami telah rusak binasa. Tetapi kami telah menemukan beberapa pulau, di antaranya ada yang kami namakan Tanah Jawa karena di dalamnya (di pulau itu) banyak kami mendapat buah jawa, yang kami makan dan dijadikan bubur.Barangsiapa mendapatkan barang ini (surat ini) hendaklah menyampaikannya ke hadirat Yang Diperlukan Kerajaan Rau (Rao) di India”.Demikianlah isi surat pertama yang ditemukan oleh Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu di Bukit Seguntang. Setelah penemuan surat pertama itu, Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu menemukan surat yang kedua. Rupanya tahun pembuatan dan orang yang membuat atau menulis surat itu berlainan. Surat yang kedua ditulis pada tahun 50 Syaka (128 Masehi). Yang menulisnya adalah Ariya Saka Sepadi, Bukan Seri Nuruddin.Surat yang ditulis oleh Ariya Saka Sepadi pada tahun 50 Syaka (128 Masehi) itu dituliskan pada “kain bambu” (bilah-bilah bambu) yang isinya sebagai berikut.“Pada tahun 50 Syaka (28 Masehi), Yang Mulia Seri Nuruddin meninggal dunia di Muara Lematang dan kami makamkan dia di sana dengan upacara yang selayaknya. Ditulis oleh Ariya Saka Sepadi”.Demikianlah di antara tanda-tanda yang mereka peroleh atau temukan bersama-sama dengan beberapa benda lain peninggalan Angkatan Bahtera Seri Nuruddin yang telah rusak binasa pada tahun 10 Syaka (88 Masehi) dan perihal kematian Seri Nuruddin sendiri pada tahun 50 Syaka (128 Masehi) di Muara Lematang, sebelah barat Bukit Seguntang.TeraYang Mulia Seri Mapuli Dewan Atung Bungsu yang mendarat di Bukit Seguntang pada tahun 101 Syaka (179 Masehi) itu segera mendirikan pondokan bagi angkatannya (rombongannya). Di situ, Yang Mulia menitahkan kepada Ariya Tabing, Nakhoda Bahtera “Penjalang” untuk menera (menimbang) semua sungai di sekitar Pulau Seguntang.Ariya Tabing bertanya kepada Atung Bungsu, “Sungai yang mana yang mesti ditera (ditimbang) “Maka dijawab oleh Yang Dipertuan Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu, “Semua tera” (artinya, semua mesti ditimbang). Dari kata-kata jawaban Atung Bungsu “Semua tera” itulah asalnya nama pulau “Sumatera”. “Semua tera”, yang kemudian menjadi “Sumatera”, artinya semua timbang; maksudnya, semua sungai yang ada di sekitar Pulau Seguntang (Bukit Seguntang) mesti ditimbang karena dalam amanat Paduka Yang Mulia Ayahnda Baginda Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu, “di mana sungai yang paling berat timbangannya (paling berat kadar airnya), di situ akan berdiri kerajaan yang paling besar di dunia dan akan termasyhur sampai ke mana-mana.Demi mengikuti amanat itu, berganti-ganti air sungai ditera (=ditimbang) oleh Ariya Tabing atas titah Baginda Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu. Maka kedapatanlah sungai di Dataran Tinggi Tanah Besemah yang paling berat timbangannya. Sungai itu dinamakan “Sungai Bersama” karena didapat atau ditemukan bersama oleh Baginda Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu, Ariya Tabing, dan angkatannya. Sungai itu sekarang dikenal dengan nama “Ayik Besemah” (Air Besemah) atau sungai Besemah yang mengalir dari timur Bukit Raje Mendara (Raja Mahendra), melintasi dusun Sarangdale (Karanganyar), Dusun Tebatgunung, dusun Nanding, dan bermuara di Air Lematang atau Sungai Lematang dekat dusun Mingkik dan Dusun Benuwakeling, Kota Pagaralam.Di sekitar Air Besemah bermuara ke Air Lematang itulah Baginda Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu membuat dusun-dusun dengan sebutan “Sumbay Paku Jagat Seriwijaya”, semacam “Pasak Bhumi Majapahit”, dalam kerajaan Majapahit Raya. Maka ditanamkanlah batu-tugu (menhir) sebagai peringatan, yaitu “Batu Lancang Putih”, yang dibawa dari puncak Gunung Himalaya. Batu-tugu itu berwarna putih di bagian atasnya dan berwarna merah di bagian bawahnya. Sampai sekarang Batu Lancang Putih itu masih terdapat di dekat Makam Ratu Seri Wijaya, di dekat dusun Benuwakeling, Kota Pagaralam.(Sripo 3.03)

3 comments:

kanzunQALAM said...

Ada legenda di tanah Melayu, yang menceritakan penguasa Sriwijaya adalah keturunan dari Alexander III 'The Great' of Macedonia (Iskandar Agung). Akan tetapi, apakah cerita ini hanya sebatas Legenda?


Sejarah Sriwijaya versi Ahmad Grozali

Di dalam tulisannya, yang berjudul 'Ringkasan Sedjarah Seriwijaya Pasemah', Ahmad Grozali mengisahkan tentang mendaratnya kapal Putera Mahkota kerajaan Rau (Rao) India, yang bernama Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu, tahun 101 Saka (179 M) di bukit Siguntang.

Kedatangannya bertujuan untuk mencari, Seri Nuruddin, Panglima Angkatan Laut Negeri Rau yang menghilang, setelah berangkat menuju Nusantara tahun 10 Saka (88M). Ringkas cerita, akhirnya Atung Bungsu bertempat tinggal di sekitar tanah basemah.



Rau adalah Kushans

Bila kita membuka lembaran sejarah, pada tahun 80M-200M, di India terdapat Kerajaan yang terkemuka yang bernama Kushans.

Kuat dugaan Kerajaan Kushans indentik dengan Kerajaan Rau, yang menjadi tempat asal Atung Bungsu. Pendapat ini setidaknya didukung dua alasan, yaitu :

1. Penguasa Kushans memiliki kepercayaan yang sama dengan Penguasa Sriwijaya, yakni penganut agama Buddha Mahayana.

2. Penguasa Kushans, pada tahun 80M-200M dipimpin oleh keturunan Kaisar Liu Pang (Dinasti Han). Dan apabila kita perhatikan anak cucu Atung Bungsu, yang berada di daerah tanah Basemah (Pasemah), seperti di Pagar Alam, Empat Lawang dan Lahat, memiliki perawakan mirip bangsa cina.



Atung Bungsu Putera Kanishka III

Diperkirakan Seri Nuruddin meninggalkan kerajaan Rau (Kushans) menuju Nusantara, pada masa pemerintahan Kanishka I (75M-105M). Dan Atung Bungsu, Putera Mahkota kerajaan Rau (Kushans), pergi untuk mencari Seri Nuruddin, pada masa pemerintahan ayahnya Kanishka III (175M-200M).

Kanishka III adalah keturunan Wema Kadphises II. Wema Kadphises II adalah putera Kuyula Kadphises I dengan Princess dari Kerajaan Bactria, melalui Princess of Bactria inilah, silsilah keturunan Alexander III 'The Great' berasal.


Silsilah Lengkapnya, silahkan kunjungi blog berikut :
http://kanzunqalam.blogspot.com/2009/12/alexander-iii-great-leluhur-penguasa.html

Anonymous said...

Yang jelas ini kan cuma mitos sebab gak ada prasasti ataupun tinggalan sejarah yang valid. Nama "Nurudin" adalah nama timur tengah dimana mereka baru mengembara untuk menyiarkan agama islam pada tahun 600 an masehi.

Unknown said...

Benar, ini cuma mitologi.
Mitologi emang bukan sumber sejarah.
Kalau mau lihat sejarah yang ilmiah silakan baca buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Masih banyak lagi buku ilmiah tentang Sriwijaya yang ditulis oleh sarjana Eropa maupuin Indonesia sendiri.