Saturday, December 05, 2009

Menguak Sejarah JemeKite

MENGUAK SEJARAH : PAGAR ALAM MENGUKIR SEJARAH


“Sebuah Catatan Dari Seminar Nasional Peradaban Besemah Sebagai Pendahulu Kerajaan Sriwijaya”Oleh : Budiarjo Sahar(Wakil Sekjen DPD KNPI Kota Pagar Alam, Ketua Pemuda Muhammadiyah Kota Pagar Alam, Tenaga Pengajar STKIP Muhammadiyah Pagar Alam) Spektakuler, itulah barangkali kata yang pas untuk disampaikan atas terselenggaranya Seminar Nasional “Peradaban Besemah Sebagai Pendahulu Kerajaan Sriwijaya” yang merupakan kerja bareng antara Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Dirjen Kesbangpol) dengan Pemerintah Kota Pagar Alam yang mengangkat tema : Dengan Seminar Nasional Peradaban Besemah Sebagai Pendahulu Kerajaan Sriwijaya Kita Wujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa Serta Rasa Cinta Tanah Air. Seminar akbar yang dilaksanakan ini terbilang sukses karena cukup istimewa dan berbeda dengan seminar-seminar yang pada umumnya dilaksanakan, terutama pesertanya terdiri dari para raja-raja/sultan seantero nusantara, para budayawan, arkeolog dan pakar-pakar sejarah dari tingkat nasional dan lokal.

Walaupun terbilang sukses seminar ini masih menyisakan PR besar dan perlu ditindaklanjuti karena sampai seminar ini berakhir tidak ada satu pihakpun dalam seminar tersebut yang dapat menjelaskan secara pasti letak sesungguhnya Kerajaan Sriwijaya, namun bukan tidak beralasan kalau dikatakan bahwa peradaban Besemah sebagai pendahulu Kerajaan Sriwijaya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya temuan peninggalan peradaban masa lalu, berupa batu-batu besar yang berasal dari aktivitas kebudayaan megalitik, antara lain dalam bentuk ruang batu (rumah batu), kubur batu, pahatan yang membentuk lukisan dipermukaan bukit batu dan arca-arca yang tersebar ditanah Pasemah.

Hal ini didukung oleh hasil penelitian beberapa pakar megalitik berkewarganegaraan Belanda, salah satunya A.N.J.Th.A Th. Vander Hoop, yang hasil penelitiannya dituangkan dalam sebuah buku yang berjudul : The Megalitic Remains In South Sumatera (1932). Mengenai temuan sejumlah besar megalitik di Dataran Tinggi Pasemah didalam bukunya dikatakan “merupakan bukti yang kaya diawal sejarah’. Bukti-bukti itu menurut para pakar dapat dijadikan titik awal peradaban megalitik yang selanjutnya berkembang di wilayah Sumatera dan Jawa. Hal ini didukung pula oleh pendapat budayawan terkemuka di Sumatera Selatan yaitu Djohan Hanafiah yang memprediksi bahwa Dinasti Syailendra tersebut berasal dari dataran tinggi Pasemah dan sekitar Gunung Dempo.
Yang tidak kalah menariknya lagi Raja Jogjakarta Sultan Hamengkubuwono X disaat bersilaturahmi dengan jajaran Pemerintah Kota Pagar Alam, sehari setelah Seminar Nasional yang diselenggarakan di Kota Pagar Alam tersebut. Seperti yang disampaikan kembali oleh Walikota Pagar Alam Drs. H. Djazuli Kuris, MM pada saat pembinaan kepada pegawai dilingkungan Pemerintah Kota Pagar Alam, menyampaikan bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono X, secara tegas mengakui dan menyatakan bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono X merupakan keturunan Kerajaan Syailendra, sedangkan Kerajaan Syailendra berasal dari Dataran Tinggi Pasemah.

Disisi lain Walikota Pagar Alam Drs. H. Djazuli Kuris, MM menegaskan bahwa seminar ini bukanlah akhir dari perjuangan, tetapi merupakan momentum awal upaya untuk mengenal sejarah Kerajaan Sriwijaya serta akan ada penelitian lebih lanjut “Besemah Sebagai Pendahulu Kerajaan Sriwijaya”. Kemudian harapan Walikota Pagar Alam selaku tuan rumah penyelenggara seminar ini disambut positif oleh Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin, yang juga merupakan salah satu tokoh muda di Sumatera Bagian Selatan ini, yang menghimbau agar para Gubernur di Sumatera Bagian Selatan ini agar duduk bersama, untuk menindaklanjuti seminar ini.

Apabila penelusuran sejarah ini dilanjutkan maka benang merah hubungan kekeluargaan akan semakin terlihat bahwa Kerajaan Sriwijaya ada keterkaitan erat dengan Kerajaan-kerajaan di Jawa. Hal ini dapat dijadikan satu dasar/pondasi dimana para keturunan Raja-raja tersebut dapat menyatukan kembali kebesaran dan kehebatannya tetapi dalam bentuk yang berbeda, bukan lagi dalam bentuk kekuasaan tetapi dalam bentuk budaya, dimana budaya merupakan benteng terakhir sebagai perekat bangsa.


http://jemekite.com/index.php?option=com_content&task=view&id=74&Itemid=29

Wednesday, June 20, 2007

Sekilas Sejarah Besemah

Ilustrasi menarik mengenai tempat orang-orang Pasemah pernah dituliskan oleh JSG Grambreg, seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda yang ditulisnya tahun 1865 sebagai berikut:

Barang siapa yang mendaki Bukit Barisan dari arah Bengkulu. kemudian menjejakkan kaki di tanah kerajaan Palembang yang begitu luas; dan barang siapa yang melangkahkan kakinya dari arah utara Ampat Lawang (negeri empat gerbang) menuju ke dataran Lintang yang indah, sehingga ia mencapai kaki sebelah Barat Gunung Dempo, maka sudah pastilah ia di negeri orang Pasemah. Jika ia berjalan mengelilingi kaki gunung berapi itu, maka akan tibalah ia di sisi timur dataran tinggi yang luas yang menikung agak ke arah Tenggara, dan jika dari situ ia berjalan terus lebih ke arah Timur lagi hingga dataran tinggi itu berakhir pada sederetan pengunungan tempat, dari sisi itu, terbentuk perbatasan alami antara negeri Pasemah yang merdeka dan wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Dari kutipan itu tampak bahwa saat itu wilayah Pasemah masih belum masuk dalam jajahan Hindia Belanda. Operasi-operasi militer Belanda untuk menaklukkan Pasemah sendiri berlangsung lama, dari 1821 sampai 1867. Johan Hanafiah budayawan Sumatra Selatan, dalam sekapur sirih buku Sumatra Selatan Melawan Penjajah Abad 19 tersebut menyebutkan bahwa perlawanan orang Pasemah dan sekitarnya ini adalah perlawanan terpanjang dalam sejarah perjuangan di Sumatera Selatan abad 19, berlangsung hampir 50 tahun lamanya.Johan Hanafiah juga menyatakan bahwa pada awalnya orang-orang luas, khususnya orang Eropa, tidak mengenali siapa sebenarnya orang-orang Pasemah. Orang Inggris, seperti Thomas Stamford Rafless yang pahlawan perang Inggris melawan Belanda di Jawa (1811) dan terakhir mendapat kedudukan di Bengkulu dengan pangkat besar (1817-1824) menyebutnya dengan Passumah. Namun kesan yang dimunculkan adalah bahwa orang-orang Passumah ini adalah orang-orang yang liar. Dalam The British History in West Sumatra yang ditulis oleh John Bastin, disebutkan bahwa bandit-bandit yang tidak tahu hukum (lawless) dan gagah berani dari tanah Passumah pernah menyerang distrik Manna tahun 1797. Disebutkan pula bahwa pada tahun 1818, Inggris mengalami dua malapetaka di daerah-daerah Selatan yakni perang dengan orang-orang Passumah dan kematian-kematian karena penyakit cacar.Pemakaian nama Passumah sebagaimana digunakan oleh orang Inggris tersebut rupanya sudah pernah pula muncul pada laporan orang Portugis jauh sebelumnya. Disebutkan dalam satu situs internet bahwa Portugis pernah mendarat di Pacem atau Passumah (Puuek, Pulau Sumatra) pada bulan Mei 1524. Namun, dari korespondensi pribadi dengan Marco Ramerini dan Barbara Watson Andaya, diperoleh konfirmasi bahwa yang dimaksudkan dalam laporan Portugis itu adalah Aceh, bukan Pasemah seperti yang dikenal ada di Sumatra Selatan sekarang. Hal ini juga terindikasi dari lokasi Pacem itu sendiri yang dituliskan berada pada 05_09’ Lintang Utara - 97_14’ Bujur Timur). Gunung Dempo sendiri yang disebut -sebut oleh Gramberg di atas berada pada posisi 04_02’ Lintang Selatan - 103_008’ Bujur Timur.Nama Pasemah yang kini dikenal sebetulnya adalah lebih karena kesalahan pengucapan orang Belanda, demikian menurut Mohammad Saman seorang budayawan dan sesepuh di sana. Adapun pengucapan yang benar adalah Besemah sebagaimana masih digunakan oleh penduduk yang bermukim di sana. Namun yang kini lebih dikenal adalah nama Pasemah. Konon, munculnya nama Besemah adalah karena keterkejutan puyang Atong Bungsu manakala melihat banyak ikan “Semah” di sebuah sungai yang mengalir di lembah Dempo. Yang terucap oleh puyang tersebut kemudian adalah “Be-semah” yang berarti ada banyak ikan semah di sungai tersebut. Hal ini juga tertulis dalam sebuah manuskrip kuno beraksara Latin berjudul Sejarah Pasemah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta. Dalam manuskrip ini dikisahkan bahwa Atong Bungsu ke Palembangan, Muara Lematang. Dia masuk dan memeriksa rimba yang kemudian dinamainya Paduraksa yang berarti “baru diperiksa”. Istrinya, yakni Putri Senantan Buway, setelah mencuci beras di sungai, pulang ke darat dengan membawa ikan semah. Maka tanah tersebut kemudian dinamakan oleh Atong Bungsu sebagai Tana Pasemah.Atong Bungsu itulah yang dipercaya sebagai nenek moyang suku Pasemah. Menurut manuskrip di atas, puyang Pasemah ini adalah keturunan dari Majapahit. Ia adalah salah seorang anak dari delapan anak dari seorang raja di Majapahit yang berjulukan Ratu Sinuhun. Gramberg sendiri juga menuliskan demikian:
Quote:
Orang Pasemah sikapnya kaku dan teguh bila berdiri untuk menegaskan bahwa kakek moyangnya berasal dari Jawa, dan lebih dari itu, bahwa ia pun berasal dari Majapahit, ia pun kemudian bercerita mengenai dongeng (mitologi) yang hidup di kalangannya. Menarik untuk ditambahkan bahwa Gramberg juga melukiskan adanya perbedaan yang sangat mencolok antara orang Pasemah dengan orang Melayu dataran tinggi yang tinggal disekitarnya. Menurutnya, orang Pasemah pertama-tama adalah petani yang membangun sawah, memasang saluran air dan menggunakan hewan penarik beban. Sehingga, dalam hal bertani kedudukannya setingkat lebih tinggi daripada orang Melayu di sekitarnya yang hanya mengenal peladangan. Selain itu, dari raut muka terlihat kecerdasannya yang lebih, bangun tubuhnya lebih terkembang, dengan sepak terjang yang lebih enerjik. Kemudian, dengan agama yang menyembah berhala serta dari segi akar kosa kata yang digunakan, Gramberg lebih yakin dengan teori bahwa orang Pasemah adalah masuk ras orang Jawa kuno.Mengenai persawahan, manuskrip kuno Sejarah Pasemah juga diungkapkan kisah Puyang Keriya Sidi yang mengajak orang untuk membuat sawah, sehingga orang Pasemah saat itu membuat sawah tidak berkesudahan. Hal ini kembali menyiratkan bahwa orang Pasemah masa dahulu sudah cukup dalam dalam mengolah lahan pertanian, bahkan persawahan.Mengenai puyang Atung Bungsu, agak berbeda dengan cerita di atas, Rahman Effendi Martabaya (2004) menyebutkan bahwa Atung Bungsu sebetulnya adalah Putra Mahkota Kerajaan Rao di India, dengan nama lengkap Y.M. Sri Mapuli Atung Bungsu. Menurutnya, Atung Bungsu memimpin angkatan laut kedua dari Kerajaan Rao yang dikirim pada tahun 101 Saka/179 Masehi setelah angkatan pertama yang dikirim sebelumnya ke Sumatra tidak ada kabarnya. Dalam tulisan Martabaya tersebut ditemukan adanya air sungai/Ayik Besemah yang dari dataran tinggi Bukitraja Mehendra Mahendra (Bukit Raje Bendare) yang mengalir ke Barat dan bermuara di Sungai Lematang wilayah Kota Pagar Alam. Bukit Raje Bendare ini sampai saat ini masih ada, terletak di Kecamatan Tanjung Sakti.Pada saat ini, Pasemah dikenal sebagai nama sebuah suku di suatu dataran tinggi di seputar Gunung Dempo (3159 m) dan Bukit Barisan (400-900 m), Sumatera Selatan. Di sekitarnya terdapat suku-suku lain seperti Semendo (disebut-sebut berakar dari silsilah yang sama), Lintang, Gumay, Empat Lawang. Namun demikian terkadang, Pasemah langsung dihubungkan dengan Kabupaten Lahat. Artinya, Pasemah dianggap juga mencakup suku-suku di sekitarnya, seperti Lintang). Pasemah sendiri, dalam beberapa sumber dipilah menjadi beberapa bagian, yakni Pasemah Lebar, Pasemah Ulu Manna (di sebelah Selatan), Pasemah Ulu Lintang (sebelah Barat Laut), Pasemah Air Keruh (berada jauh di balik Bukit Barisan. Tiga terakhir ini penduduknya berasal dari Pasemah Lebar yang beremigrasi dan beradaptasi dengan daerah di sekitarnya yaitu bekas daerah Kesultanan Palembang dan daerah jajahan Inggris di Bengkulu. Pasemah Ulu Manna sendiri, pada masa penjajahan Belanda masuk Karesidenan Bengkulu. Kecamatan Tanjung baru menjadi bagian dari Sumatera Selatan sejak tahun 1948, setelah dilakukan pemungutan suara dengan cara yang sederhana untuk menentukan hendak menjadi bagian dari Sumatera Selatan ataukah Bengkulu. Namun, daerah yang agaknya paling pas untuk menunjuk keberadaan suku Pasemah adalah perbatasan Sumatera Selatan dan Bengkulu.Terlepas dari hal itu, Pasemah sendiri mempunyai tempat khusus dalam studi-studi arkeologi sehubungan dengan peninggalan-peninggalan pra-sejarahnya. Seperti disebutkan oleh Peter Bellwood seorang arkeolog dari Australian National University (ANU), Dataran Tinggi Pasemah merupakan salah satu pusat temuan bangunan-bangunan prasejarah yang penting di Indonesia. Bangunan megalitik Pasemah yang ada disebutkan sangat menarik dan telah menarik perhatian, sejak tahun 1950. Berbagai bentuk pahatan batu dikenal sebagai The Art of Pasemah. Berkaitan dengan tugu batu yang ada di Pasemah, antropolog Belanda Heine-Geldern pernah memperkirakan bahwa hal ini merupakan petunjuk telah adanya hubungan erat dengan Cina sekitar abad 1-2 SM, karena kemiripannya dengan peninggalan serupa di satu wilayah di Cina. Sebagian uraian Victor Purcell (1965) yang dikutip Lewis adalah sebagai berikut:
Quote:
…Dr. Heine-Geldern di tahun 1934 menjelaskan stylistic similarities antara pahatan batu prasejarah yang ada di daerah Pasemah di Sumatra bagian Selatan dengan yang ada di makam Jenderal Cina Huo K'iu-ping di Propinsi Shensi China, yang dibuat tahun 117 SM. Ini, katanya, tampaknya mengindikasikan setidaknya ada hubungan erat dengan Cina, yang mungkin telah mulai ada sekitar abad pertama dan kedua SM… Bellwood dalam bukunya meragukan kesimpulan bahwa hubungan dengan Cina sudah terjadi pada abad-abad itu. Menurutnya, kontak dagang Indonsia dengan Cina mungkin amat jarang terjadi sebelum Dinasti Tang (618-906 M). Sementara Kamil Mahruf memperkirakan suku Pasemah telah ada sekitar awal tahun 700-an. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa Prasasti Palas Pasemah yang ada di Lampung dan bertahun 680 M itu ada hubungannya dengan Tanah Pasemah.Keterangan:Tulisan di atas merupakan bagian dari artikel utuh hasil penelitian Aloysius Gunadi Brata (Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Oktober – 2005) yang berjudul “Problematika Masyarakat Kopi Pasemah”.Kalu nak dapet artikel lengkapnyo dalam format PDF (172 kb), silahkan search kemudian download di google dengan kata kunci judul tersebut, atau hubungi bae aku via email:
lempoxe@yahoo.com

Monday, June 19, 2006


Jeme Besemah

Mengenai asal-usul suku Besemah, hingga saat ini masih diliputi kabut rahasia. Yang ada hanyalah cerita-cerita yang bersifat legenda atau mitos, yaitu mitos Atung Bungsu, yang merupakan salah satu di antara 7 orang anak ratu (= raja) Majapahit, yang melakukan perjalanan menelusuri sungai Lematang, akhirnya memilih tempat bermukim di dusun Benuakeling. Atung Bungsu menikah dengan putri Ratu Benuakeling, bernama Senantan Buih (Kenantan Buih). Melalui keturunannya Bujang Jawe (Puyang Diwate), puyang Mandulike, puyang Sake Semenung, puyang Sake Sepadi, puyang Sake Seghatus, dan puyang Sake Seketi yang menjadikan penduduk Jagat Besemah (Lihat Bagan Alir).

Sindang Merdike dan Si Penjaga Batas

StatusSindang Merdike” dan “Si Penjaga Batas” dan sistem pemerintahan tradisional “Lampik Empat Merdike Due” menjadi terancam dan sirna setelah kolonialis Belanda dapat mengalahkan perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin II melalui Perang Palembang tahun 1819 dan 1821.
Mengenai hubungan dengan Kesultanan Palembang, suku Besemah selalu menganggap dirinya sebagai orang yang bebas, orang merdike. Hubungan Sultan Palembang dengan suku Besemah lebih bersifat suzereinitas daripada souveriginitas (Hens, 1909:12-15) Kewajiban “milir seba” Bukit Seguntang pada tiap tiga tahun sekali, lebih diartikan sebagai nggaghi kelaway tue, Putri Sindang Biduk. Sultan Palembang cukup menghormati orang-orang Besemah, terbukti dengan status yang diberikannya status “Sindang Merdike” dan “Si Penjaga Batas” (Grensbewakers).
Suku Besemah sering melakukan, yang menurut istilah Belanda membuat “kerusuhan” (onlusten), membuat “huru-hara” (woelingen), atau mengganggu ketenteraman (rustverstoring). Menyadari bahwa pihak Belanda pasti akan melakukan serangan, orang Besemah membuat benteng-benteng pertahanan yang kuat, disebut kute di beberapa dusun. Misalnya Kute Gelungsakti, Kute Penandingan, Kute Tebatseghut, Kute-agung, Kute Menteralam, dan kute-kute lainnya. Pimpinan militer Belanda memutuskan mengirimkan ekspedisi militernya untuk menghancurkan kekuatan orang-orang Besemah, yang dilaksanakan pada bulan April hingga bulan Juni tahun 1866.
Belanda mengalahkan Besemah
Oleh karena persenjataan yang lebih modern, pengalaman perang yang cukup, dan pasukan yang terlatih, akhirnya Belanda dapat menguasai satu persatu kute pertahanan prajurit-prajurit Besemah, yaitu Kute dusun Gelungsakti, Kute Penandingan, Kute Tebatseghut, Kute-agung, Kute Menteralam dan lain-lain. Pada pertempuran di kute-kute tersebut terlihat bahwa prajurit-prajurit Besemah lebih memilih kemungkinan mati daripada menyerah, terutama pada pertempuran di Tebatseghut dan Menteralam. Setelah mengalahkan perlawanan di daerah Besemah Libagh (Besemah Lebar), pasukan Belanda melanjutkan serangannya ke Besemah Ulu Manak untuk menangkap tokoh-tokoh pemimpin Besemah yang bersembunyi di daerah ini.
Kekalahan ini menyebabkan rakyat Besemah harus tunduk kepada peraturan yang dikeluarkan pemerintah Belanda. Misalnya, mereka harus membayar pajak tanah, pajak rumah, menghentikan perdagangan budak, dan menghentikan kebiasaan menyabung ayam. Peraturan dan ketentuan-ketentuan itu merupakan hal baru dan sangat memberatkan bagi orang-orang Besemah yang tidak ada sebelumnya. Hal ini berarti, status “Sindang Merdike” dan “Si Penjaga Batas” menjadi hilang Dengan kekalahan tersebut, mulailah daerah Besemah dijajah Belanda dengan segala penderitaan dan kesulitan ekonomi. Penderitaan ini berlangsung hampir selama 82 tahun.

Sejarah Sriwijaya Versi A Grozali

Ahmad Bastari Suan, SPd Peminat Sejarah dan Budaya Nusantara
AHMAD GROZALI Mengkerin, penulis angkatan Balai Pustaka, dengan karya tulisnya yang terkenal Syair Si Pahit Lidah, mempunyai pendapat lain tentang sejarah Sriwijaya. Pendapatnya itu tertuang dalam satu manuskrip yang disimpan oleh keluarga orang yang disapanya dengan sapaan “paman” di Palembang. Dokumentasi pribadi paman Abdullah Senibar itu patut dijadikan bahan kajian tentang sejarah Sriwijaya atau sejarah lokal Sumsel. Judul manuskrip yang ditulis oleh penulis Balai Pustaka itu adalah “Ringkasan Sedjarah Seriwidjaja Pasemah”.Ahmad Grozali, penulis Syair Si Pahit Lidah, yang sebagai jurnalis pernah menulis artikel “Gara-gara Berdialog” itu, mengemukakan pendapatnya tentang Sriwijaya sebagai berikut.Pada tahun 101 Syaka (bertepatan dengan tahun 179 Masehi), berlabuhlah tujuh bahtera (jung) di Pulau Seguntang. Pulau Seguntang iu adalah Bukit Seguntang yang sekarang, yaitu bukit dengan ketinggian 27 meter di atas permukaan laut, di dalam Kota Palembang.Pada masa itu, yaitu sekitar abad kedua Masehi, daerah Sumatera Selatan ini masih merupakan bencah lebar atau rawa-rawa yang sangat luas. Hanya ada beberapa daratan yang tampak seperti terapung di atas permukaan laut. Di antara daratan yang muncul di atas permukaan laut itu adalah (1) Bukit Seguntang, sebagai apung pertama; (2) Kute Abung Bukit Serela, sebagai apung tengah; dan (3) Daratan Tinggi Tanah Besemah dengan puncaknya Gunung Dempu, sebagai apung kulon (apung barat).Kute Abung Bukit Serela adalah Bukit Serela di Kabupaten Lahat, yang sekarang dikenal juga dengan nama Bukit Jempol. Di situ pernah ditemukan jangkar jung kuno yang berasal dari awal abad Masehi. Daerah itu dikenal juga dengan sebutan Abung Tinggi. Bukit Serela atau Bukit Jempol itu tingginya 670 meter di atas permukaan laut.Dataran Tinggi Tanah Besemah dengan puncaknya Gunung Dempu itu adalah wilayah Kota Pagaralam dan Kabupaten Lahat dengan gunung tertinggi di Sumatera Selatan, yang kini dikenal dengan Gunung Dempo. Gunung Dempu (Dempo) itu sebenarnya mempunyai tiga puncak, yaitu (1) puncak belumut (Gunung Lumut), (2) puncak beghapi (Gunung Berapi), dan (3) puncak dempu (Gunung Dempu). Puncak yang tertinggi adalah puncak Dempu (Gunung Dempu), 3.173 meter di atas permukaan laut.Putra MahkotaAdapun Angkatan Bahtera (Armada Jung) yang berlabuh di Pulau Seguntang pada tahun 101 Syaka atau 179 Masehi itu, dipimpin oleh Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu, putra mahkota Kerajaan Rau (Rao) di India. Sebagai penasihat Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu adalah Ariya Tabing dari Kepulauan Massava (Filipina) dan Umayullah dari Parsi Persia (Iran).Perjalanan Angkatan Bahtera Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu tahun 101 Syaka (179 Masehi) itu adalah perjalanan kedua yang dilakukan oleh Angkatan Bahtera Kerajaan Rau (Rao) untuk menyelidiki pulau-pulau di Nusantara, yaitu pulau-pulau di tenggara benua Asia. Perjalanan pertama berlangsung sebelum tahun 10 Syaka atau tahun 80-an Masehi. Angkatan Bahtera Kerajaan Rau (Rao) yang berangkat ke Nusantara sebelum tahun 10 Syaka itu dipimpin oleh Seri Nuruddin yang berasal dari Kepulauan Massava (Filipina), yang pada waktu itu menjabat sebagai Ariya Passatan (Panglima Angkatan Laut) Kerajaan Rau (Rao).Angkatan Seri Nuruddin telah berpuluh-puluh tahun tidak kembali ke Kerajaan Rau (Rao) di India, bahkan tidak ada kabar sama sekali. Oleh sebab itu maka dikirim angkatan kedua, angkatan susulan, yang dipimpin langsung oleh yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu. Mereka mengharung samudera, menuju ke pulau-pulau Nusantara.Pada hari Jumat, hari ke-14, bulan Haji (bulan Zulhijjah), tahun 101 Syaka, bertepatan dengan tahun 179 Masehi, mendaratlah Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu yang memimpin Angkatan Tujuh Bahtera itu di daratan, di dekat pohon cendana, di Pulau Seguntang atau Bukit Seguntang. Di situ beliau Yang Mulia menemukan satu bumbung (berumbung) atau tabung yang berisi lempengan emas bersurat. Lempengan emas bersurat dalam bumbung yang ditemukan oleh Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu itu, ternyata adalah surat atau warkah yang ditandatangani oleh Seri Nuruddin, Ariya Passetan (Panglima Angkatan Laut) Kerajaan Rau (Rao), bertanggal hari kesebelas, bulan ketujuh (bulan Rajab), tahun 10 Syaka, bertepatan dengan tahun 88 Masehi.SuratInilah isi surat atau warkah emas yang ditulis dan ditandatangani oleh Seri Nuruddin, yang ditemukan oleh Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu di bawah pohon cendana, di Bukit Seguntang itu.“Kami tak dapat lagi pulang ke India karena segala alat perlengkapan kami telah rusak binasa. Tetapi kami telah menemukan beberapa pulau, di antaranya ada yang kami namakan Tanah Jawa karena di dalamnya (di pulau itu) banyak kami mendapat buah jawa, yang kami makan dan dijadikan bubur.Barangsiapa mendapatkan barang ini (surat ini) hendaklah menyampaikannya ke hadirat Yang Diperlukan Kerajaan Rau (Rao) di India”.Demikianlah isi surat pertama yang ditemukan oleh Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu di Bukit Seguntang. Setelah penemuan surat pertama itu, Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu menemukan surat yang kedua. Rupanya tahun pembuatan dan orang yang membuat atau menulis surat itu berlainan. Surat yang kedua ditulis pada tahun 50 Syaka (128 Masehi). Yang menulisnya adalah Ariya Saka Sepadi, Bukan Seri Nuruddin.Surat yang ditulis oleh Ariya Saka Sepadi pada tahun 50 Syaka (128 Masehi) itu dituliskan pada “kain bambu” (bilah-bilah bambu) yang isinya sebagai berikut.“Pada tahun 50 Syaka (28 Masehi), Yang Mulia Seri Nuruddin meninggal dunia di Muara Lematang dan kami makamkan dia di sana dengan upacara yang selayaknya. Ditulis oleh Ariya Saka Sepadi”.Demikianlah di antara tanda-tanda yang mereka peroleh atau temukan bersama-sama dengan beberapa benda lain peninggalan Angkatan Bahtera Seri Nuruddin yang telah rusak binasa pada tahun 10 Syaka (88 Masehi) dan perihal kematian Seri Nuruddin sendiri pada tahun 50 Syaka (128 Masehi) di Muara Lematang, sebelah barat Bukit Seguntang.TeraYang Mulia Seri Mapuli Dewan Atung Bungsu yang mendarat di Bukit Seguntang pada tahun 101 Syaka (179 Masehi) itu segera mendirikan pondokan bagi angkatannya (rombongannya). Di situ, Yang Mulia menitahkan kepada Ariya Tabing, Nakhoda Bahtera “Penjalang” untuk menera (menimbang) semua sungai di sekitar Pulau Seguntang.Ariya Tabing bertanya kepada Atung Bungsu, “Sungai yang mana yang mesti ditera (ditimbang) “Maka dijawab oleh Yang Dipertuan Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu, “Semua tera” (artinya, semua mesti ditimbang). Dari kata-kata jawaban Atung Bungsu “Semua tera” itulah asalnya nama pulau “Sumatera”. “Semua tera”, yang kemudian menjadi “Sumatera”, artinya semua timbang; maksudnya, semua sungai yang ada di sekitar Pulau Seguntang (Bukit Seguntang) mesti ditimbang karena dalam amanat Paduka Yang Mulia Ayahnda Baginda Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu, “di mana sungai yang paling berat timbangannya (paling berat kadar airnya), di situ akan berdiri kerajaan yang paling besar di dunia dan akan termasyhur sampai ke mana-mana.Demi mengikuti amanat itu, berganti-ganti air sungai ditera (=ditimbang) oleh Ariya Tabing atas titah Baginda Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu. Maka kedapatanlah sungai di Dataran Tinggi Tanah Besemah yang paling berat timbangannya. Sungai itu dinamakan “Sungai Bersama” karena didapat atau ditemukan bersama oleh Baginda Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu, Ariya Tabing, dan angkatannya. Sungai itu sekarang dikenal dengan nama “Ayik Besemah” (Air Besemah) atau sungai Besemah yang mengalir dari timur Bukit Raje Mendara (Raja Mahendra), melintasi dusun Sarangdale (Karanganyar), Dusun Tebatgunung, dusun Nanding, dan bermuara di Air Lematang atau Sungai Lematang dekat dusun Mingkik dan Dusun Benuwakeling, Kota Pagaralam.Di sekitar Air Besemah bermuara ke Air Lematang itulah Baginda Yang Mulia Seri Mapuli Dewa Atung Bungsu membuat dusun-dusun dengan sebutan “Sumbay Paku Jagat Seriwijaya”, semacam “Pasak Bhumi Majapahit”, dalam kerajaan Majapahit Raya. Maka ditanamkanlah batu-tugu (menhir) sebagai peringatan, yaitu “Batu Lancang Putih”, yang dibawa dari puncak Gunung Himalaya. Batu-tugu itu berwarna putih di bagian atasnya dan berwarna merah di bagian bawahnya. Sampai sekarang Batu Lancang Putih itu masih terdapat di dekat Makam Ratu Seri Wijaya, di dekat dusun Benuwakeling, Kota Pagaralam.(Sripo 3.03)

Jeme Besemah

Jeme Besemah

Mengenai asal-usul suku Besemah, hingga saat ini masih diliputi kabut rahasia. Yang ada hanyalah cerita-cerita yang bersifat legenda atau mitos, yaitu mitos Atung Bungsu, yang merupakan salah satu di antara 7 orang anak ratu (= raja) Majapahit, yang melakukan perjalanan menelusuri sungai Lematang, akhirnya memilih tempat bermukim di dusun Benuakeling. Atung Bungsu menikah dengan putri Ratu Benuakeling, bernama Senantan Buih (Kenantan Buih). Melalui keturunannya Bujang Jawe (Puyang Diwate), puyang Mandulike, puyang Sake Semenung, puyang Sake Sepadi, puyang Sake Seghatus, dan puyang Sake Seketi yang menjadikan penduduk Jagat Besemah (Lihat Bagan Alir).

Saturday, April 08, 2006



Besemah suatu terminology lebih dikenal dekat dengan satu bentuk kebudayaan dan suku yang berada disekitar gunung Dempo dan pegunungan Gumay. Wilayah ini dikenal dengan Rena Beemah. Sedangkan untuk terminology politik dan pemerintahan, dipergunakan nomenklatur Pasemah. Pada masa kolonila oleh Inggris dan Belanda menyebutnya Pasumah, bahkan sampai sekarang Pemerintah Republik Indonesia masih menyebutnya Pasemah.
Tanah Besemah merupakan dataran tinggi yang terletak di kaki Bukit Barisan mengelilingi Gunung Dempo, beriklim tropis, berudara sejuk, dikenal sebagai salah satu daerah penghasil kopi, teh, dan sayur mayur.
Penduduk tanah besemah termasuk rumpun suku Melayu Tengah, sejak dahulu sudah dikenal mempunyai peradaban dan nilai-nilai budaya tinggi. Hal ini dibuktikan banyaknya peninggalan Prasejarah dalam bentuk arca, menhir serta tulisan yang belum dapat dibaca, seni tutur dalam bentuk guritan, tadut, rejung dan lain-lain; permainan alat musik tradisional berupa ginggung dan lain-lain.
Dalam sistem kekerabatan secara umum masyarakat Besemah menganut sistem patrilineal, artinya menganut garis keturunan laki-laki, maka timbul istilah meraje untuk garis keturunan dari laki-laki dan anak belay untuk garis keturunan dari perempuan. Sesuai dengan perjalanan waktu sistem kekerabatan dari patrilineal juga mengalami perkembangan ke arah bilateral melalui alter nerend. Demikian pula masyarakat yang tadinya bersifak komunal yang didasarkan pada ikatan keturunan teritorial, genelogis, telah terkontaminasi oleh pengaruh peradaban dunia Barat yang dikenal dengan faham materialistis dan individualistis, sehingga seolah-olah masyarakat Tanah Besemah sudah tercabut dari nilai-nilai dasar persamaan garis keturunan, persamaan tanah leluhur, rasa dan tanggung jawab terhadap kelompok, ikatan kekerabatan dan nilai kegotong-royongan.
Sementara itu di beberapa tribe atau suku, ikatan kekeluargaan atau tali persaudaraan tetap dipertahankan, bahkan ada kecenderungan menguat. Sebut saja misalnya Kerukunan Keluarga Minang, Keluarga Sulawesi selatan, Keluarga Batak, Etnis Keturunan Tionghoa.
Bila kita amati suku atau ikatan keluarga yang tetap memepertahankan dan emmelihara sistem kekerabatan, dalam berbagai aspek relatif lebih maju bila dibandingkan dengan suku yang tidak lagi mempertahankan sistem kekerabatan, baik dibidang sosial budaya, ekonomi, dan politik.
Sesungguhnya suku atau keluarga Besemah patut berbangga karena Tanah Besemah telah banyak melahirkan putera-uteri terbaik bangsa, baik ditingkat regional, nasional naupun internasional dengan beraneka ragam profesi.
Basema suatu terminology lebih dikenal dekat dengan satu bentuk kebudayaan dan suku yang berada disekitar Gunung Dempo dan Pegunungan Gumay. Wialayah ini dikenal sebagai Rena Basema. Sedangkan untuk terminology politik dan pemerintahan, dipergunakan nomenklatur Pasemah. Pada masa kolonial oleh Inggris dan Belanda menyebutnya Pasemah, bahkan sampai sekarang Pemerintahan Republik Indonesia masih menyebutnya Pasemah.
Kebudayaan suatu suku atau bangsa sangatlah dipengaruhi oleh lingkungan alam, dimana mereka hidup dan berkehidupan. Kebudayaan itu adalah bagaimana manusianya mengantisipasi dan bereaksi akan alam lingkungannya. Orang yang hidup dipegunungan tentu akan lain sekali orang hidup dataran dan dipinggir pantai.
Siapakah orang Basema ?
Bangsa atau suku bangsa yang ada didunia mempunyai isi kebudayaan yang terdiri dari 7 unsur: apakah kebudayaan itu sederhana, terisolasi, maju, besar maupun kompleks, menurut para ahli antropologi terdiri dari unsur-unsur, yaitu :
Bahasa
System teknologi
System ekonomi
Organisasi social
Sistem pengetahuan
Religi
Kesenian
Dengan mengetahui bentuk dan isi kebudayaan Basema maka kita dapat mengetahui apa dan siapa jemeu Basema.
Pasemah Sindang Merdika
Hubungan antara Basema dengan Kesultanan Palembang adalah 6: “Orang Pasemah Lebar mempunyai catatan tradisional bahwa asal usul mereka adalah keturunan dari Jawa. Pada saat kejayaan Majapahit, dua saudara yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan, dengan beberapa orang pengikutnya, meninggalkan kerajaan tersebut dan mendarat di pantai timur Sumatera. Saudara perempuannya menetap di Palembang dan dalam waktu singkat menjadi seorang penguasa; sebaliknya saudara laki-laki berjalan terus kearah pedalaman, sampailah di lembah subur Pasemah. Dari sinilah tempat ini pertama kali dikendalikan dan berpenduduk; dan semenjak itu menjadi tanah asal suku yang ada sekarang.”
Pernyataan diatas citra hubungan psikologis, social, geopolitik antara Kesultanan Palembang dan Pasemah sehingga berhak menyandang bentuk wilayahnya sebagai sindang.
Dengan kedudukan wilayahnya sebagai wilayah sindang, maka jelaslah orang Basema mendapat tugas khusus dan tempat khusus didalam struktur Kesultanan Basema mendapat tugas khusus dan tempat khusus didalam struktur Kesultanan Palembang. Itulah sebabnya sindang ini disebut Pasemah Sindang Merdika.
Dapunta Hiyang adalah orang Pasemah.
Sebetulnya hubungan antara Pasemah dan Palembang jauh sebelum kelahiran Kesultanan Palembang Darussalam telah terjalin. John N. Miskic 7 ; kehidupan perekonomian dan kebudayaan Pasemah pada sekitar abad ke-7 seperti berikut :”Pasemah probably formed a prehistoric of cultural development which supplied a necessary precondition enabling a sophiscated political and economic centre of sriwijaya to development at Palembang, to which Pasemah is linked by river.” Sedangkan Peter Bellwood 8 melihat, dari segi pentrikhan pahatan-pahatan itu adalah bentuk nekara tipe Heger I yang dipahatnya pada relief Batugajah, Airputih, dilukis juga pada dinding ruang kubur Kotaraya Lembak dan mungkin juga diukir pada batuan alami yang terbuka dekat Tegurwangi. Bukti-bukti ini dapat menyarankan tarikh awal atau pertengahan milinium Masehi, meskipun mungkin ada yang bertumpang tindih kurun waktunya dengan masa kerajaan Sriwijaya (sesudah tahun 670 M).
Atas bukti-bukti dan saran serta pemikiran para pakar arkeologi dan sejarah, sebetulnya sudah dapat disimpulkan, bahwa peran Jabat Basema terhadap kerajaan Sriwijaya sangat besar, jika tidak dikatakan menentukan. Oleh karena itu saya berasumsi, kalau Dapunta Hiyang Srijayanaga, raja Sriwijaya yang bergelar sebagai Raja Gunung adalah jemeu dari Gunung Dempo. Asumsi ini telah saya sampaikan pada Seminar Internasional pada ulang tahun ke 25 Tahun Kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi dan Ecole francaise d’Extreme-Orient tahun 2001. Asumsi ini tidak ada yang menolak, sebaliknya belum ada yang mendukung.
Jagat Besema bumi perjuangan.
Jemeu Besema adalah orang-orang pemberani, diakui oleh penulis kolonial. Berwatak setia kawan, dan loyal terhadap komitmen yang membuat saudara ataupun teman seperjuangan Sultan Palembang, meneruskan perjuang setelah Sultan Mahmud Badaruddin II dikalahkan oleh Belanda pada tahun 1821. Orang-orang Sindang Merdika di Pasemah menolak tindakan Belanda tersebut. Mereka meneruskan perjuangan di Pasemah pada tahun 1821 sampai 1866. Bahkan pada saat-saat pertempuran melawan Belanda di Palembang 1821, orang-orang Besema sekali lagi bersumpah setia dengan Sultan Palembang di Bukit Seguntang.
Pemberontakan yang diadakan oleh rakyat Besema ini juga disebabkan dengan sikap Belanda yang tidak dapat mengerti dengan bentuk dan karakter tradisional, dan tentunya kurang pendekatan budaya. Pandangan yang picik terhadap orang Besema seperti yang telah disampaikan terdahulu: orang Pasemah tak akan dapat diajak bicara jika tidak diberi unjuk kekuatan militer, inilah sikap kolonial yang sangat fatal.
Atas sikap ini pula menjadi jelas, ketika meletusnya rentetan pemberontakan yang berkepanjangan dari kelompok suku-suku didaerah Sindang, misalnya serangan orang Pasemah ke kota Palembang (1829), Lahat(1829), Musi Ulu)1837), Rejang(1840), Ampat Lawang(1840-1850) dan beberapa jenis pemberontakan kecil, serupa umunya dari daerah Sindang, bahwa kekuasaan mereka didaerah Sindang tidak terima begitu saja. Wilayah Besema dapat diduduki Belanda pada penghujung tahun 1866.
Semangat pejuang Besema ini terus menyala sehingga menjelang revolusi kemerdekaan. Jepang mendidik para calon perwira yang nantinya melahirkan para perwira di Pagar Alam. Disekolah Ghuyung ini Jepang hanya melatih fisik kemiliteran, akan tetapi semangat kejuangan dihembuskan oleh semangat Besema. Tidak mengherankan kalau dari Pagar Alam ini lahir para perwira yang berkiprah ditingkat nasional.
Di alam Revolusi Fisik sekali lagi Jagat Besema menjadi tempat perlindungan pemerintahan sipil Republik Indonesia dalam hal ini Keresidenan Palembang. Demikian pula penempatan-penempatan kesatuan TNI, seperti Brigade Garuda Dempo, Sub Teritorium Palembang (STP).
Wajar saja jika Pemrintahan Kota Pagar Alam mengklaim sebagai : Bumi Perjuangan sebagai mottonya.
Daerah Besemah terletak dikaki Bukit Barisan. Daerahnya meluas dari lereng-lereng Gunung Dempo ke selatan sampai ke Ulu Sungai Ogan (Kisam), ke Barat sampai ke Ulu Alas (Besemah Ulu Alas), ke Utara sampai ke Ulu Musi Besemah (Ayik Keghuh), dan ke daerah timur sampai Bukit Pancing. Pada Masa Lampik Empat Merdike Due daerah Besemah sudah dibagi atas Besemah Libagh, Besemah Ulu Lintang, Besemah Ulu Manak, dan Besemah Ayik Keghuh. Meskipun nama-namanya berbeda, namun penduduknya mempunyai hubungan atau ikatan kekerabatan yang kuat (genealogis).
Daerah Besemah merupakan datran tinggi dan pegunungan yang bergelombang. Ketinggian wilayah sangat bervariasi, dari ketinggian sekita 441 meter dpl (diatas permukaan laut) sampai dengan 3.000-an meter lebih dpl.
Daerah dataran tinggi 441 meter sampai dengan 1.000 meter dpl, sedangkan daerah berbukit dan bergunung (bagian pegunungan) berada pada ketinggian diatas 1.000 meter hingga 3.000 meter lebih dpl titik tertinggi adalah 3.173 meter dpl, yaitu puncak Gunung Dempo, yang sekaligus merupakan Gunung tertinggi di Sumatera Selatan. Daerah Guning Dempo dengan lereng-lerenganya pada sisi timur dan tenggara mencakup 58.19% dari luas wilayah kota Pagar Alam sekarang yang 633,66 hektar.
Bukit dan Gunung yang terpenting diwilayah kota Pagar Alam antara lain adalah Gunung Dempo (3.173 meter), Gunung Patah (2.817 meter), Bukit Raje Mendare, Bukit Candi, Bukit Mabung Beras, Bukit Tungku Tige (Tungku Tiga), dan Bukit Lentur. Bagian wilayah kota yang merupakan dataran tinggi, terutama bagian timur, umunya disebut “ Tengah Padang “. Daerah pusat kota Pagar Alam yang meliputi kecamatan Pagar Alam Utara dan kecamatan Pagar Alam Selatan atau wilayah bekas Marga Sumbai Besak Suku Alun Due terletak pada ketinggian rata-rata 600 sampai 3.173 meter dpl.
Derah Besemah dialiri sejumlah sungai. Satu diantaranya adlah sungai Besemah (Ayik Besemah). Pada zaman dahulu, keadaan alamnya sangat sulit dilewati, menyebakan daerah ini jarang didatangi oleh Sultan Palembang atau wakil-wakilnya (raban dan jenag). Kondisi alam yang cukup berat ini menyebabkan sulitnya pasukkan Belanda melakukan ekspedisi-ekspedisi meliter untuk memadamkan gerakan perlawanan orang Besemah.
Mengenai keadaan alam Besemah pada permulaan abad ke sembilan belas, menurut pendatang Belanda dari karangan Van Rees tahun 1870 melukiskan.
Sampai dengan tahun 1866 ada rakyat yang mendiami perbukitan yang sulit didatangi disebelah tenggara Bukit Barisan yang tidak pernah menundukkan kepalanya kepada tetangga walaupun sukunya lebih besar. Walau hanya terdiri dari beberapa suku saja, mereka menamakan dirinya rakyat bebas merdeka. Dari Barat Daya sulit ditembus ole orang-orang Bengkulu, dari tiga sudut lain di pagari oleh Gunung-gunung yang menjulang tinggi dan ditutupi oleh hutan yang lebat dan luas di daerah pedalam Palembang
ASAL MUASAL JEME BESEMAH
Sampai sekarang masih belum jelas dari mana sebenarnya asalusul suku Besemah. Apakah teori-teori tentang perpindahan penduduk yang diikuti sekarang berlaku juga bagi suku besemah, masih diliputi kabut rahasia. Namun yang jelas, jauh berabad-abad sebelum hadirnya mitos Atung Bungsu, ditanah Besemah, dilereng Guning Dempo dan dareh sekitarnya, telah ada masyarakat yang memiliki kebudayaan tradisi megalitik dan bukti-bukti budaya megalitik ditanah besemah sampai sekarang masih ada. Tetapi permasalahannya, apakah jeme Besemah sekarang ini adalah keturunan dari pendukung budaya megalitik tersebut ?.
Menurut Ahad, jurai tue puyang Kedung Gunung Samat di Rempasai bahwa sebelum kedatangan Atung Bungsu ke daerah sekitar Gunung Dempo, telah datang bergelombang dan berturut-turut suku-suku atau bangsa-bangsa yang tidak di ketahui asalnya. Suku-suku atau bangsa-bangsa itu adalah jeme Kam-kam, jeme Nik, jeme Nuk, jeme Ducung, jeme Aking, jeme Rebakau, jeme Sebakas, jeme Rejang dan jeme Berige. Pada masa tanah disekitar Gunung Dempo di duduki oleh jeme Rejang dan jeme Berige, datanglah Atung Bungsu.
Dari cerita orang-orang tua (jeme-jeme tue), secara fisik jeme Nik dan jeme Nuk memiliki badang yang tinggi besar hidung mancung dan kulit putih kemerahan. Jeme Ducung perawakan tubuhnya kecil, pendek, tetapi memiliki kelincahan. Jeme Aking juga tinggi besar, kekar, kulitnya merah keputihan, dan memiliki pendirian yang keras. Jeme Rebakau, berperawakan sedang, dan Jeme Sebakas, memiliki postur tubuhnya seperti kebanyakan orang-orang Melayu sekarang. Demikian pula jeme Rejang dan jeme Berige tidak jauh berbeda dengan jeme Sebakas. Ahad mengatakan bahwa orang besemah sekarang diperkirakan merupakan keturunan dari berbagai suku-suku diatas, namun keturunan yang paling dominant berasal dari puyang Atung Bungsu.
Menurut cerita rakyat di Besemah, Atung Bungsu datang ke Besemah pada saat tempat ini sudah didiami oleh suku Rejang dan Berige. Ia sempat berdialog dengan salah seorang pimpinan suku Rejang yang bernama Ratu Rambut Selake dari Lubuk Umbai yang nasing-masing merasa berhak atas tanah Besemah. Melalui sumpah, akhirnya Ratu Rambut Selake mengakui bahwa yang paling berhak adalah Atung Bungsu. Ucapan Atung Bungsu itu kira-kira sebagai berikut “ jikalu bulak, jikalu buhung, tanah ini aku punye, binaselah anak cucungku”.
Sedangkan M. Zoem Derahap, yang dijuluki pak Gasak, dusun Negeri Kaye, Tanjung Sakti, bercerita bahwa rakyat Lubuk Umbay yang di pimpin Ratu Rambut Selake setelah mengakui tanah Besemah milk Atung Bungsu mereka lalu diberi kedudukan sebagai sumbai dalam Jagad Besemah, tetapi tidak masuk dalam sistem pemerintahan Lampik Empat Merdike Due. Sumbay mereka itu dinamakan Sumbay Lubuk Umbay.
Sebagian masyarakat Besemah percaya bahwa kedatangan Atung Bungsu itu bersama Diwe Semidang ( Puyang Serunting Sakti ) dan Diwe Gumay. Diwe Gumay menetap di Bukit Seguntang Palembang, sedangkan Diwe Semidang pada mulanya juga tinggal dibukit siguntang, lalu pergi menjelajah sembilan batanghari sampai akhirnya menetap disuatu tempat yang disebut Padang Langgar ( Pelangkeniday ). Keturunan kesebelas dari Diwe Gumay yaitu puyang Panjang sebagai juray kebalik-an baru menetap dibagian ilir tanah besemah yaitu di Balay Buntar ( Lubuk Sepang ).
Ratu Majapahit beranak 7 (tujuh) orang: 1. Puyang Meradjo Saktie, 2. Puyang Meradjo Gantie, 3. Puyang Meradjo Pandoe, 4. Puyang Meradjo Gandoe, 5. Puyang Meradjo Kedam, 6. Puyang Poetri Sandang Bidoek, 7. Puyang Atoeng Bongsoe.
Maka Ratu Sinuhun memberi tahu pada anak laki-lakinya bahwa Poetri Sandang Bidoek akan diambil anak [Dikawinkan] dengan Bagus Karang di negeri Raban, serta akan dijadikan raja di Mojopahit (Majapahit). Anak laki-lakinya kecewa sebab mengapa mereka yang laki-laki tidak dijadikan raja Mojopahit. Ada permintaan dari Atoeng Bongsoe kepada Bagus Karang, kalau jadi raja di Mojopahit yaitu minta ayam Papak Berambai Mas, memakai jalu intan sekilan. Permintaan dikabulkan oleh Bagus Karang. Ratu Sinuhun menyuruh ke-enam anak laki-lakinya berkarang mencari ikan. Maka Atoeng Bongsoe berkarang digenting ulu Mana’ di Batanghari Cawang sampai habis ikannya. Ikan dimasukkannya dalam boloh [Buluh=Bambu] Ritie Jadie. Sampai sekarang Batanghari itu bernama Cawang Boloh Ritie dan tidak lagi ditunggu ikan. Ketika Atoeng Bongsoe jalan dari [melalui] tanah Pasemah yang pada waktu itu bernama Rimbo Dalam. Pada wktu itu belum ada seorang pun yang tinggal didaerah ini, turun dari bukit Serelo lantas pulang ke Mojopahit. Sampai di Mojopahit saudara puterinya sandang Bidoek telah dikawinkan. Atoeng Bongsoe kecewa, mengapa tidak menunggu dia pulang dari berkarang. Anak-anak Ratu Sinuhun kecewa, mereka lalu pergi kebeberapa tempat, antara lain ke Loera Belido, ke Minangkabau, ke Bugis, ke Aji Komering dan ke Bugis.
Atoeng Bongsoe kawin dengan anak ratu Benua Keling Senantan Boewih (Boeway). Atoeng Bongsoe mendapat 2 (dua) anak laki-laki, yaitu: 1. Boejang Djawo (Bujang Jawe), 2. Rio Rakian. Pada suatu ketika Boejang Djawo memecahkan piring Ratu Benua Keling. Anak laki-laki Ratu Benua Keling marah kepada Boejang Bongsoe dan ia berkata bahwa ia mau pulang. Ratu Benua Keling membagi pusaka (warisan). Atoeng Bongsoe mendapat warisan tanah bumi. Ia mengambil tanah sekepal dan setitik air dan satu biji batu dimasukkan di dalam tongkat. Bagian Puyang Atoeng Bongsoe Pati(h) Ampat Lawangan Ampat Pepandin Delapan. Maka Atoeng Bongsoe berjalan nunggangi (naik) kelapa balik mudik sungai sampai di Palembang. Ketemu dengan Putri Sandang Bidoek. Maka Pati Ampat Lawangan Sandang Bidoek di Palembang. Sandang Bidoek memberi satu Bendik bernama Si Awang-Awang. Kata Sandang Didoek “Bilamana Atoeng Bongsoe sudah mendapat kepastian dimana akan bertempat tinggal pukul bendik Si Awang-awang sampai kedengaran dari Palembang”. Maka Atoeng Bongsoe meninggalkan satu meriam bernama Segoering. Kata Atoeng Bongsoe “Kalau ada musuh dari luaran, tembakkan meriam Segoering, supaya segala anak cucunya membantu perang”. Sesudah itu Atoeng Bongsoe mudik sampai muara Lematang, maka air musi ditimbang dengan air Lematang [Ternyata setelah ditimbang lebih berat ayiek lematang], Atoeng Bongsoe [memutuskan] akan mudik Batanghari Lematang. Ketika Boejang Djawe akan mati, dia meninggalkan pesan sama Atoeng Bongsoe, dimana te,pat Atoeng Bongsoe menjadikan jgad minta pasangkan asap kemenyan sembilan dan minta dipasangkan kelmbu tujuh lapis, maka Boejang Djawe kembali hidup. Sesudah itu Atoeng Bongsoe naik ke darat berhenti didalam rimba. Rimab ini dinamakannya Padoeraksa [artinya daerah yang baru diperiksa]. Ketika Atoeng berada dalam rimna ini datanglah ratu dari dusun Lubuk Oembay bernama Ratu Rambut Selake [Pimpinan orang Rejang]. Berkatalah ratu Rambut Selake: Apa sebab Atoeng Bongsoe menempati tanahnya ? Dijawab oleh Atoeng Bongsoe, “ Tanah ini tanahku nian, sebab waktu pulang berkarang di Genting Oeloe, mendapat ini tanah dan belum ada satu orangpun yang menunggunya [menempati]”. Dijawab lagi oleh ratu Rambut Selake, “Beghani sumpah, kalau beghani sumpah, ambiklah!”. Maka tanah ini dikasihkan kepada Atoeng Bongsoe. Sesudah itu Rambut Selaku mati, anak cucunya pindah ke Rejang. Setelah itu Atoeng Bongsoe pindah dari rimba Padoekrakso dan kemudian membuat dusun Benua Keling. Suatu ketika istrinya Atong Bongsoe, putri senantan Boewih turun membasuh beras memakai bakul, dimasuki ikan Semah, Itulah sebabnya daerah ini dinamakan Besemah [yang berarti sungau yang banyak ikan semahnya].
Sesudah itu Atoeng Bongsoe, sesuai dengan pesan Bujang Dje\awe, ia membakar kemenyan dan memasang kelambu tujuh lapis pada waktu malam 14 maka bujang Djawe turun bergelar Puyang Dewate, dialah yang menjadikan Jagad Besemah, sampai 5 (lima) gilirtidak diperanakkan. Setelh puyang Dewate mati, berturut-turut terdapat puyang: 1. Indiro (Indra) sakti, 2. Indira Muksa, 3. Telage Muksa, 4. Cendane Kilam, dan 5. mandoelike.
Puyang Mandoelike beranak 5 ( lima) orang, yaitu: 1. Puyang Sake Semanung (Seminung), menjadikan anak [Sumbai] Ulu Lurah, 2. Puyang Sake Sepadi menjadikan sumbai Tanjung Ghaye, 3. Puyang Seghatus, menjadikan anak Bayoeran, 4. Puyang Sake Saktie menjadikan marga Jati, 5. Puyang Seribu, mati bujang, tidak ada keturunan.
Keempat Puyang diatas menjumputi {sic.) Depati Lang Bidaro (Depati Karang udare= Depati Karang Widara) dengan Pangeran Sido Kenayan [Raja Palembang] mudik [ke tanah] Pasemah minta tunjuki adat dengan hukum maka depati Lang Bidaro dengan Pangeran Sido Kenayan mudik ke tanah Pasemah membawa adat dengan hukum aturan di dalam Jagat yang ditetapkan Kerte [Aturan] delapan, bagaimana adat, siapa salah disalahkan, siapa benar dibenarkan.
Dan Jagat Pasemah ditetapkan Sindang Merdike, kalau ada budak lain atau barang hilang di Palembang, timnbul di Pasemah, minta pulangkan di Palembang, siapa yang menolong, di Palembang dapat Pesalin sepengadap.
Dan empat pesirah ditetapkan memerintah di “Jagat Pasemah”. Bila salah seorang pesirah itu mati, akan diganti orang lain. Tetapi penggantinya harus mendapatkan persetujuan Sultan Palembang.
Pangeran Sido Kenayan dengan Depati Lang Bidaro membagi tapal batas tanah Pasemah dengan Palembang. Dimulai dari Way Umpu titik di penyebrangan Bantan, terus di Batu Banjar, laju di gunung Seminung Ranau, dari situ turun Naurebo [terletak ditengah gunung Seminung Ranau], laju di pematang Sengang tengah Ranau, Laju terus tengah laman dusun Kuripan, ‘mungga Bukit Nanti, turun di Muare Kemumu [Kisam], mungga di tangan Bukit Nanti terus di Pematang Galang turun di Lubuk Muara Cendawan, laju di Batu Bindoe Muara Enim, dari situ mungga Bukit Campang di Pagar Gunung, turun di Ayiek ijuk, terus di Lubuk Muara Senangsangan Mulak Ulu, laju di Danau Batu, turuhan di Arahan Tungku Tiga, netak Bubungan Arahan Tiga, laju di Padang Tamba, mungga bukit Kuantjung Berghuk, dari situ terus di Petai Campang Due Bukit Ulu Pangi (Kikim), dari situ laju di Sialang Pating Besi di Bukit Sanggul, terus di Bukit Rindu Ati Bengkulu, turun di Padang Tjupak, terus di Ulu Tuban, titik di teluk Merampuyan, laju di Padang Muara Selibar Ulu Bengkulu, turun di Laut Besar, sampai di Tampaan Gadak Sebelah Ulu, yang tersebut ini tanah bumi dikasihkan oleh Pangeran Sido Kenayan pada orang Pasemah. Dari situ ke sebelah ilir Pangeran Sido Kenayan dengan Depati Lang Bidaro yang punya.
Waktu itu tanah Pasemah masih rimba semuanya. Semua orang bikin ladang darat [ume]. Dibelakang ini tanah Pasemah jadi padang membuat siring untuk lahan sawah. Dan lagi aturan Pasemah kalau sawah angkitan 100 bake harganya 100 gulden.
Tanah yang sudah dibuka, kemudian ditinggalkan (talang), boleh digarap orang lain asal ada kata mufakat (berunding). Orang yang tidak bikin sawah tidak dihukum Sultan Palembang. Jika ada tanah yang bisa dibikin sawah,bu kan Pesirah yang membagi tanah itutapi orang yang bikin sawah sendiri, lebih dahulu dikasih tahu Pesirah
Awal sejarah pemerintahan tradisional di Besemah tidak terlepas dari sistem pemerintahan Kesultanan Palembang. Kaitan atau hubungan antara Kesultanan Palembang dengan daerah-daerah diwilayah kekuasaannya dikatakan oleh Robert Heine Gildern (1982). “ di Asia Tenggara Ibukota Kesultanan Palembang bukan saja merupakan pusat politis dan kebudayaan dari suatu kerajaan dan masyarakat sekitarnya, juga merupakan pusat magis dari kerajaan
PEMERINTAHAN TANAH BESEMAH DIZAMAN DULU
Awal sejarah pemerintahan tradisional di Besemah tidak terlepas dari sistem pemerintahan Kesultanan Palembang. Kaitan atau hubungan antara Kesultanan Palembang dengan daerah-daerah diwilayah kekuasaannya dikatakan oleh Robert Heine Gildern (1982). “ di Asia Tenggara Ibukota Kesultanan Palembang bukan saja merupakan pusat politis dan kebudayaan dari suatu kerajaan dan masyarakat sekitarnya, juga merupakan pusat magis dari kerajaan.
Selain sebagai pusat aktivitas kekuasaan politis kebudayaan, dan magis Kesultanan Palembang secara stuktural membagi wilayahnya sebagai ibukota, yang memang dibawah kendali Sultan langsung. Daerah-daerah yang dekat dengan wilayah kerajaan disebut wilayah Kapungutan, sedangkan wilayah yang berada jauh dari pusat kekuasaan Kesultanan Palembang disebut wilayah Sindang yang lebih bersifat merdeka dan hubungannya hanya mengirimkan seba kepada sultan. Diantara kapungutan dan sindang tersebut adalah wilayah Sikap yang mempunyai tugas-tugas tertentu dari sultan. Wilayah kesultanan palembang diatas, tidak begitu identik dengan wilayah provinsi Sumatera-Selatan sekarang ini. Dalam struktur hirarki pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam, strata paling atas dan paling berkuasa adalah sultan, sebagai pengemban “ wahyu Tuhan “. ( pulung, konsep keraton Jawa ) untuk memerintah. Susuhunan adalah gelar yang diberikan kepada sultan yang tidak menjabad lagi.
Struktur kedua adalah kalangan bangsawan atau pangeran yang menguasai lima sampai duabelas dusun yang merupakan bagian dari wilayah kesultanan yang diberikan sultan untuk nafkah hidup mereka. Pemberian kekuasaan atas wilayah tersebut, disebabkan sultan Palembang tidak mungkin memberikan gaji kepada semua pangeran yang cukup banyak jumlahnya. Selama seorang pangeran tetap loyal dan disukai oleh sultan, kedudukannya dapat diwariskan kepada keturunannya.
Struktur ketiga adalah marga-marga sikap yang terdiri dari beberapa dusun atau talang. Penduduk dusun itu berkewajiban mengurusi gawe raja secara pribadi. Selain juga bertugas mengangkut barang barang penghasilan dari sultan, tetapi mereka dibebaskan dari biaya pembayaran pajak dan tiban-tukon ( Amin, 1996).
Struktur yang ke empat adalah marga-marga sindang yang berfungsi sebagai penjaga batas yang merdeka. Suku Besemah dalam status ini mereka tidak dibebani tiban-tukon maupun pajak serta pekerjaan sultan lainnya. Kewajiban mereka hanya menjaga tapal batas agar rakyat diwilayah kesultanan palembang tidak melarikan diri ke Lampung atau Banten. Kewajiban ini terutama dibebankan kepada sumbay-sumbay yang terdapat didaerah Besemah.
Dalam sistem pemerintahan tradisional besemah dikenal istilah sumbay dan juray. Pengertian sumbay ini perlu dijelaskan agar maknanya dapat diketahui oleh orang besemah yang masih hidup sekarang dan yang akan datang. Pada masa puyang pendiri Besemah masih hidup, ia mempunyai juray-juray. Juray adalah cikal bakal adanya sumbay.
Juray suatu sumbay ada yang menetap ditanah besemah tetapi ada juga yang merantau keluar dan tidak kembali lagi. Mereka kemudian membaurkan diri ( nyunggutka ) dan beradaptasi dengan lingkungan barunya ( Shoim, 1989). Anak cucu puyang ini membentuk tata kehidupan sesame mereka. Dari sini timbul keinginan untuk mendudukkan juray dari puyang-puyang lain, agar tidak muncul persengketaan diantara keturunan mereka. Juray membentuk kaum-kaumnya dikemudian hari ia menjadikan kaumnya sebagai suatu kesatuan yang dinamakan sumbay.
Dengan demikian sumbay merupakan tali pengikat diantara sesame juray dan juga dalam sumbay, sehingga kata seganti setungguan dalam petulay atau sumbay dapat diwujudkan.
Makna sumbay dan juray adalah sama karena bermakna keturunan, tetapi dalam kedudukannya menunjukkan adanya perbedaan, karena juray satu dengan juray lainnya kadangkala berbeda nama sumbay. Perkembangan keturunan juray berada pada tempat yang sama tetapi dapat juga terjadi ditempat yang lain, karena ada juray yang telah mendirikan dusun lain. Akan tetapi anatar sumbay dengan juray selalu mempunyai ikatan, terutama mereka dalam satu keturunan puyang yang sama.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada pertengan abad ke 19, penduduk besemah sudah terbagi atas enam Sumbay, yaitu :
Sumbay Pangkal Lurah (berjumlah 24 dusun)
Sumbay Ulu Lurah (berjumlah 38 dusun)
Sumbay Mangku Anum (berjumlah 19 dusun)
Sumbay Besak (berjumlah 52 dusun)
Sumbay Penjalang
Sumbay Semidang
MARGA-MARGA TERAKHIR DI KABUPATEN LAHAT
(TANAH BESEMAH), YANG MENGGUNAKAN NAMA SUMBAY
Marga Penjalang Suku Empayang Kikim dan Saling Ulu (PSEKSU), di Sukajadi Kikim; Kecamatan Kota Lahat; 11 Dusun
Maraga Penjalang Suku Empayang Ilir (PSEI), di Gunungkerta, Kecamatan Kikim, 8 dusun.
marga Penjalang Suku Lingsing (PS Lingsing), di Pagarjati, Kecamatan Kikim; 7 dusun
Marga Penjalang Suku Pangi (PS Pangi), di Nanjungan, Kecamatan Kikim; 7 dusun
Maraga Sumbay Besar Suku Alundua (SPS Alundua), di Alundua, Kecamatan Kota Pagaralam; 28 dusun.
Marga Sumbay Mangku Anum Suku Muara-Siban (SMAS Muara-Siban), di Bumiangung, kecamatan Kota Pagaralam; 20 dusun.
Marga Semidang Suku Pelangkendiday (SS Pelangkendiday). Di Pelangkendiday (kemudian di Sukajadi), kecamatan Kota Pagaralam; 7 dusun.
Maraga Sumbay Besar Suku Lubukbuntak (SBS Lubukbuntak), di Lubukbuntak, kecamatan kota Pagaralam; 19 dusun.
Maraga Sumbay Besar Suku Kebun-jati (SBS Kebun-jati) di Kebun-Jati (Kemudian Airdingin baru), Kecamatan Kota-Agung (Sebenarnya Kota-Agung, dari Kute-agung); 27 dusun.
Marga Penjalang Suku Tanjungkurung (PS Tanjungkurung), di Tanjungkurung (kemudian di Tanjungbay), kecamatan Kuta-agung; 5 dudun.
Marga Sumbay Mangku Anum Suku Penantian (SMAS Penantian), di Penantian (kemudian di Talangtinggi), Kecamatan jaray; 21 dusun.
Marga Sumbay Tanjung Raya Suku Muara-payang (STRS Muara-payang) kemudian ditalang tinggi , kecamatan jaray; 7 dusun.
Marga Sumbay Ulu Lurah suku pajarbulan (SULS Pajarbulan), di Pajarbulan (kemudian disimpingtiga Sumur), Kecamatan Jaray; 29 dusun.
Marga Semidang suku Seleman (Marag Semidang), di Seleman, kecamatan Muara-pinang; 10 dusun.
Diluar wilayah Kabupaten Lahat (Tanah Besemah), marga-marga yang menggunakan nama Sumbay, yaitu kesatuan genealogis masyarakat Besemah atau masyarakat asal Besemah adalah
Marga Semidang Alundua suku 2, Kecamatan Pengandonan, Kabupaten Ogan Kemering Ulu (OKU); Provinsi Sumatera Selatan; 2 dusun.
Marga Semidang-Gumay, Kecamatan Pino, Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu.
marga Semidang Alas, Kecamatan talo, Kabupaten bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu.
Dasar-dasar pembentukan marga-marga terakhir di Sumatera Selatan Perda No.2/DPR.Gr.SS/1969; penghapusannya berdasarkan SK Gubernur Kdh Tk.I Sumsel.